Masalah lain muncul ketika hukum lalu lintas dipahami sebatas sanksi administratif. Dalam cara pandang ini, kepatuhan hanya hadir sesaat, bukan sebagai kesadaran akan keselamatan.
Padahal, setiap aturan lalu lintas lahir dari pengalaman panjang tentang kecelakaan, cedera, dan kematian. Helm, sabuk pengaman, batas kecepatan, dan marka jalan bukan formalitas, melainkan hasil pembelajaran sosial yang mahal harganya.
BACA JUGA:Libur Nataru di Jambi Makin Seru! Ini Destinasi Berkonsep Wisata Alam Hits yang Wajib Kamu Kunjungi
Upaya penegakan hukum dan edukasi keselamatan yang selama ini berjalan tetap memiliki peran penting dalam menjaga ketertiban dan keselamatan di jalan raya. Namun, tanpa perubahan cara pandang masyarakat, upaya tersebut akan selalu berhadapan dengan pola pelanggaran yang terus berulang.
Jalan Raya sebagai Cermin Budaya
Cara masyarakat berlalu lintas sejatinya mencerminkan cara kita hidup bersama. Jalan raya mempertemukan orang-orang yang tidak saling mengenal, dengan tujuan berbeda, dalam ruang terbatas yang menuntut saling percaya.
Saat seseorang melanggar, ia sedang menempatkan kepentingan pribadinya di atas keselamatan orang lain. Saat aturan diabaikan, pesan yang muncul adalah bahwa nyawa bisa dinegosiasikan demi kenyamanan sesaat.
Karena itu, persoalan lalu lintas tidak bisa dilepaskan dari budaya hukum. Ia bukan sekadar soal kendaraan dan jalan, tetapi soal tanggung jawab dan nilai kemanusiaan di ruang publik.
BACA JUGA:Hari Selasa 16 Desember 2025, Harga Emas Antam Ada di Angka Rp2,464 Juta per Gram
Mengubah Cara Pandang
Mengatasi kebiasaan melanggar tidak cukup dengan penindakan. Penegakan hukum penting, tetapi tanpa perubahan cara pandang, hasilnya selalu sementara.
Yang dibutuhkan adalah pemulihan makna: bahwa aturan lalu lintas adalah kesepakatan etis untuk saling melindungi.
Kesadaran ini dibangun melalui pendidikan, keteladanan di ruang publik, konsistensi kebijakan, serta pesan yang berkelanjutan bahwa keselamatan bukan urusan individu semata, melainkan tanggung jawab kolektif.
Ketika masyarakat patuh bukan karena takut ditilang, melainkan karena memahami risikonya bagi orang lain, maka hukum kembali menjalankan fungsi sosialnya.
Pada akhirnya, persoalan mendasarnya bukan seberapa sering pelanggaran terjadi, melainkan mengapa kita merasa nyaman melanggar. Selama pelanggaran dianggap biasa, kecelakaan akan terus diperlakukan sebagai musibah, bukan sebagai kegagalan yang seharusnya bisa dicegah.