JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Empat negara Rusia, Tiongkok, Iran, dan Korea Utara dilaporkan semakin agresif memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk melakukan serangan siber dan menyebarkan disinformasi terhadap Amerika Serikat.
Temuan ini diungkap dalam laporan tahunan ancaman digital Microsoft, yang menunjukkan meningkatnya penggunaan AI oleh aktor negara dan kelompok kriminal untuk tujuan manipulatif.
Menurut laporan tersebut, pada Juli 2025 Microsoft mencatat lebih dari 200 kasus keterlibatan pihak asing yang menggunakan AI dalam operasi digital, meningkat dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya dan sepuluh kali lipat dibanding 2023.
BACA JUGA:Wah! Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Rp1,7 Triliun Uang Negara Berhasil Diselamatkan
Laporan itu menunjukkan bagaimana dunia maya kini menjadi arena baru spionase dan penipuan global, dengan teknologi AI berperan penting dalam memperkuat serangan dan memperluas jangkauan manipulasi.
Microsoft menyoroti bahwa peretas negara, geng kriminal, hingga perusahaan siber ilegal menggunakan AI untuk berbagai aktivitas berbahaya mulai dari membuat email phishing berbahasa alami, menciptakan klon digital pejabat, hingga menembus sistem sensitif milik pemerintah dan swasta.
"Pemerintah menggunakan operasi siber untuk mencuri rahasia, melemahkan rantai pasokan, dan menyebar disinformasi," tulis laporan tersebut.
BACA JUGA:Sehat Tanpa Mahal! Rutin Makan Satu Pisang Tiap Hari Dapat Mencegah Kanker
"Sementara kelompok kriminal memanfaatkan ransomware atau mencuri data demi keuntungan finansial."
Amy Hogan-Burney, Wakil Presiden Microsoft bidang Keamanan dan Kepercayaan Pelanggan, memperingatkan bahwa pertahanan siber di AS masih tertinggal, sementara para penyerang kini menyasar infrastruktur vital seperti rumah sakit dan jaringan transportasi.
"Ini adalah momen penting di mana inovasi bergerak sangat cepat. Setiap organisasi harus berinvestasi serius pada keamanan siber mereka," ujarnya.
BACA JUGA:KKB Lepas Tembakan ke Rombongan Kapolda Papua Tengah, Kasat Narkoba Terkena Peluru
AS disebut masih menjadi target utama serangan siber global, diikuti Israel dan Ukraina. Sementara itu, Korea Utara dikabarkan menggunakan persona berbasis AI untuk menciptakan identitas palsu warga Amerika yang melamar pekerjaan jarak jauh di bidang teknologi, agar bisa mencuri data dan menyebarkan malware.
Meski keempat negara membantah tudingan ini, Microsoft menilai tren tersebut menunjukkan munculnya "perang digital" yang terus berkembang.
Menurut Nicole Jiang, CEO perusahaan keamanan siber Fable, kemajuan AI membuat kejahatan digital semakin sulit dikendalikan.