JAMBI, JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Dalam beberapa hari terakhir, gelombang demonstrasi yang mengguncang Indonesia telah mengungkapkan fakta yang mengerikan tentang hubungan antara negara dan warganya. Mula-mula dipicu oleh masalah tunjangan perumahan DPR sebesar Rp 50 juta per bulan, tetapi ini hanyalah percikan kecil dari gunung kekecewaan publik yang telah lama berlarut-larut. Demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan di berbagai daerah, kematian, dan kerusuhan di berbagai kota menunjukkan bahwa krisis kepercayaan antara masyarakat dan elit politik telah mencapai titik kritis.
Dalam teori politik, legitimasi kekuasaan lahir dari kepercayaan rakyat. Legitimasi akan hilang ketika rakyat merasa diperlakukan secara tidak adil. Kebijakan tunjangan DPR di tengah masalah ekonomi rakyat memberi kesan bahwa ada jarak antara elit dan masyarakat. Dalam situasi di mana jutaan orang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok mereka, pejabat justru menambah fasilitas mewah, bahkan memamerkannya.
Fenomena ini semakin meneguhkan teori ketimpangan sosial Pierre Bourdieu. Ilmuan Sosial Prancis ini menyatakan bahwa rasa keterasingan (alienation) masyarakat disebabkan oleh distribusi sumber daya yang tidak seimbang. Ekspresi kolektif dari keterasingan itu adalah demonstrasi yang terjadi, persis seperti apa yang kita saksikan baru-baru ini.
Dalam negara demokrasi, salah satu hak politik yang sah adalah demonstrasi. Pasal 28E Konstitusi 1945 memberikan kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan menyuarakan pendapat. Oleh karena itu, demonstrasi adalah cara untuk menyuarakan aspirasi rakyat, bukan hanya gangguan keamanan.
BACA JUGA:Kalem dan Santun, Zodiak Ini Dikenal Soft Spoken
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa demonstrasi sering menjadi titik balik perubahan. Baik gerakan mahasiswa 1966 maupun aksi besar 1998, serta berbagai demonstrasi buruh dan petani. Demonstrasi menunjukkan bahwa suara jalanan sering lebih didengar daripada mekanisme formal, yang sering terhambat oleh persetujuan politik di antara para elit.
Namun demikian, masalah muncul ketika demonstrasi kehilangan etika dan berubah menjadi kerusuhan. Pembakaran gedung DPRD Makassar yang menewaskan korban, bentrokan brutal di Jakarta, penjarahan rumah-rumah artis-legislator, dan aksi anarkis di kota lain membuat demo kehilangan pesan substantifnya. Di titik inilah, legitimasi moral rakyat bisa melemah, sementara negara menemukan justifikasi untuk menekan dengan dalih keamanan.
Sebagai respons terhadap kondisi ini, Presiden Prabowo Subianto mencabut tunjangan DPR dan menghentikan perjalanan dinas pejabat ke luar negeri. Respon ini menunjukkan betapa berbahayanya eskalasi krisis. Namun demikian, masyarakat harus mempertanyakan: apakah kebijakan ini hanya untuk meredakan kemarahan sementara, atau apakah akan ada reformasi struktural dalam etika pejabat publik dan pengelolaan anggaran negara di kemudian hari?
Jika pemerintah hanya bertindak reaktif dan kembali mengulang perilaku post-factum, maka pemerintah akan terjebak dalam politik pemadam kebakaran—bertindak hanya setelah kebakaran muncul tanpa memperbaiki sumber api. Perlu ada reformasi lebih mendasar, seperti transparansi anggaran DPR, pembatasan jumlah ruang pejabat, dan kepedulian pada sektor kesejahteraan publik.
BACA JUGA:Wajib Tau! Pentingnya Bedakan Handuk Badan dan Wajah
Kasus tragis pengemudi ojek online Affan Kurniawan yang tewas yang tertabrak kendaraan taktis polisi menjadi titik balik yang memperparah krisis. Bagi masyarakat umum, peristiwa itu merupakan bukti represifitas aparat daripada sekadar kecelakaan.
Menurut teori Samuel Huntington tentang hubungan sipil-militer, stabilitas negara bergantung pada keseimbangan antara kekuasaan sipil dan militer. Delegitimasi akan muncul jika aparat terlalu represif; sebaliknya, otoritas negara dapat runtuh jika negara membiarkan kerusuhan. Dengan demikian, sikap proporsional aparat sangat penting. Untuk memulihkan kepercayaan rakyat, diperlukan persuasi, komunikasi humanis, dan akuntabilitas atas pelanggaran.
Di tahun pertama pemerintahannya, demonstrasi ini menjadi tantangan besar bagi Presiden Prabowo. Meskipun keputusan cepat untuk mencabut tunjangan DPR membuat situasi sedikit lebih baik, reputasi pemerintah sudah terlanjur rusak. Jika tidak ada reformasi yang signifikan yang dilakukan untuk mengatasi krisis kepercayaan, oposisi politik dapat memanfaatkannya untuk menggiring narasi ketidakmampuan pemerintah.
Hubungan eksekutif-legislatif juga dapat terganggu. Meskipun ditentang publik, DPR jelas tidak senang dengan pencabutan tunjangan yang dianggap hak mereka. Bisa saja ketegangan politik ini berkembang menjadi konflik kebijakan di parlemen.
BACA JUGA:Tok! Kompol Kosmas Kaju Gae Kena Sanksi PTDH Buntut Tewasnya Affan Kurniawan