Sinergi Regulasi dan Penegakan Hukum dalam Tata Kelola Tambang dan Perkebunan di Jambi

Selasa 29-07-2025,19:19 WIB
Reporter : Risza S Bassar
Editor : Risza S Bassar

Laporan Jambisatu.id (2025) menunjukkan peningkatan mengkhawatirkan luas wilayah terdampak PETI, mencapai 52.059 hektare pada 2024, naik signifikan dari 48.140 hektare pada 2023.

Sarolangun dan Merangin tercatat sebagai daerah dengan tingkat kerusakan tertinggi (KKI Warsi).

Catatan Media mengungkapkan bahwa aktivitas PETI tidak hanya melibatkan masyarakat biasa, tetapi juga diduga dibekingi oleh aparat dan tokoh masyarakat lokal (JambiLINK.id, 2025), mengindikasikan kelemahan pengawasan negara yang memberi ruang bagi praktik ilegal.

BACA JUGA:Launching Sekolah Lansia di Tanjab Timur, SKK Migas-PetroChina Libatkan Tim dari UIN STS Jambi

Penelitian Junaidi (2022) menunjukkan bahwa PETI memberikan dampak beragam. Di satu sisi, PETI membuka peluang ekonomi bagi masyarakat dengan keterbatasan akses modal dan teknologi.

Peningkatan pendapatan dari penyewaan lahan atau pekerjaan baru dilaporkan di sekitar wilayah tambang, berpotensi positif bagi pembangunan infrastruktur lokal dan pemberdayaan ekonomi wilayah.

Namun, ironisnya, data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi (2023) mencatat bahwa wilayah seperti Merangin dan Sarolangun memiliki angka kemiskinan relatif tinggi (14–18 persen), jauh di atas rata-rata provinsi.

Tanah yang kaya sumber daya justru dihuni masyarakat miskin yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

BACA JUGA:Benjolan Kecil Tapi Berbahaya? Kenali Tanda-Tanda Awal Kanker Kulit

Di sisi lain, PETI menyebabkan penyusutan kawasan hutan Jambi dari 3,8 juta hektare menjadi sekitar 2,1 juta hektare.

Analisis citra satelit KKI Warsi menunjukkan hanya sekitar 900 ribu hektare hutan tersisa, setara 18 persen dari total wilayah Jambi.

Aktivitas ilegal ini tidak hanya merusak hutan dan lahan pertanian, tetapi juga mulai menjangkau permukiman penduduk, serta menggerus ekosistem di sepanjang alur dan sempadan sungai hingga ke hulu akibat praktik penambangan yang tak terkendali (Kompas.com, 2024).

Pasca-pandemi COVID-19, banyak warga kehilangan pekerjaan. Sektor formal ambruk, dan bantuan sosial tak cukup menopang kebutuhan rumah tangga.

BACA JUGA:Wajib Dihindari, Yuk Kenali Kesalahan Umum saat Memasak Nasi

Dalam situasi ini, tambang ilegal menjadi jalan pintas. Meskipun risikonya besar, dorongan ekonomi lebih kuat daripada kekhawatiran hukum atau lingkungan. Mereka merasa harus menyelamatkan diri sendiri, walau melalui jalur ilegal, karena negara tak hadir menyelamatkan.

Namun, justifikasi PETI sebagai solusi darurat kemiskinan patut dipertanyakan. Aktivitas ini tidak hanya menghancurkan ekosistem hutan dan mencemari sungai dengan merkuri, tetapi juga merampas masa depan generasi berikutnya.

Kategori :