
JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Dalam wacana pembangunan, kemiskinan kerap direduksi menjadi persoalan angka diukur melalui indikator konsumsi, kepemilikan aset fisik, dan akses terhadap infrastruktur dasar seperti rumah dan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK).
Pendekatan semacam ini memang menawarkan kemudahan dalam pengukuran dan perbandingan statistik, namun sering kali mengabaikan kompleksitas sosial, kultural, dan geografis yang menyertai realitas kemiskinan itu sendiri.
Misalnya, penduduk di wilayah pesisir dan rawa gambut yang tidak memiliki MCK permanen kerap langsung dikategorikan sebagai penduduk miskin, meskipun mereka telah lama beradaptasi dengan sistem sanitasi berbasis kearifan lokal yang fungsional.
Ketika kemiskinan dinilai hanya dari keberadaan jamban atau kondisi fisik rumah, maka pertanyaan yang lebih substansial pun terabaikan.
BACA JUGA:Cepat Baper! Ini 5 Zodiak yang Paling Gampang Jatuh Cinta
Apakah seseorang benar-benar memiliki ruang dan kapasitas untuk menentukan arah hidupnya mengakses pendidikan yang berkualitas, mendapatkan pekerjaan yang layak, menikmati layanan kesehatan yang manusiawi?
Serta terlibat aktif dalam kehidupan sosial dan pengambilan keputusan publik tanpa harus terus-menerus tersandera oleh kemiskinan struktural yang diwariskan secara turun-temurun?
Dalam konteks inilah, keandalan indikator perlu dikaji ulang agar tidak menjadi instrumen yang justru mengaburkan fakta sosial yang hendak diungkap.
Selama ini, pendekatan dalam mengukur kemiskinan masih terlalu terpaku pada indikator-indikator konvensional yang bersifat fisik dan statistik semata.
BACA JUGA:Mau Mulai Investasi? Ini Jenis Investasi yang Cocok Berdasarkan Zodiak Kamu
Ukuran seperti garis kemiskinan berdasarkan konsumsi, standar rumah layak huni, atau kepemilikan fasilitas dasar, seringkali dijadikan acuan tunggal tanpa mempertimbangkan kompleksitas sosial, geografis, dan perubahan zaman.
Akibatnya, realitas kemiskinan yang lebih luas yang mencakup keterasingan dari akses, kesempatan dan partisipasi kerap luput dari perhatian.
Ironisnya, di tengah dinamika sosial dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, instrumen pengukur kemiskinan kita masih terjebak pada cara pandang lama yang statis dan nyaris tak berubah.
Pendekatan lama dalam mengenali kemiskinan diukur secara kasat mata melalui rumah yang sederhana, pola konsumsi yang terbatas, atau keterbatasan fisik dalam memenuhi kebutuhan dasar masih sering dijadikan acuan hingga kini.
BACA JUGA:Resmi Gabung AC Milan, Luka Modric Siap Bawa Rossoneri Kembali Berjaya