Menata Ulang Demokrasi : Dari Kompleksitas Pemilu, Regulasi Beradaptasi, Menuju Harapan Perbaikan

Kamis 26-06-2025,19:30 WIB
Reporter : Risza S Bassar
Editor : Risza S Bassar

Putusan MK yang baru-baru ini dikeluarkan adalah bukti konkret dari adaptasi regulasi ini, sebagai respons terhadap permasalahan yang timbul dari implementasi regulasi sebelumnya.

MK, sebagai penjaga konstitusi, tidak hanya menyoroti inefisiensi masa jabatan penyelenggara pemilu yang "tugas inti"-nya hanya sekitar 2 tahun dalam siklus serentak, tetapi juga merespons permohonan dari berbagai pihak.

Termasuk Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang telah lama menyuarakan perlunya pemisahan ini. Ini adalah cerminan dari sistem hukum yang terus berdialog dengan realitas sosial dan politiknya.

Sebuah artikel dalam Jurnal Konstitusi, Volume 17, Nomor 4, Desember 2020, misalnya, Rifqie, Jaelani dan Siti Masitoh dalam artikelnya berjudul "Problem Legislasi Pemilu Serentak Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi", menyoroti bahwa "putusan MK terkait pemilu serentak ini memang menciptakan kebutuhan akan revisi dan penyesuaian regulasi agar sinkronisasi dapat tercapai, bukan hanya secara teknis namun juga filosofis." Ini menegaskan urgensi adaptasi regulasi setelah putusan MK.

BACA JUGA:Gak Bisa Kabur Lagi! Mantan Kades Lidung Sarolangun Ditangkap Kejari Sarolangun Kasus Korupsi Dana Desa

Langkah pemisahan pemilu ini membawa serta harapan besar untuk perbaikan. Pertama, efisiensi dab fokus penyelenggara akan meningkat drastis. KPU dapat mencurahkan energinya pada satu jenis pemilu dalam satu waktu, yang berpotensi menghasilkan proses yang lebih rapi, akurat, dan minim kesalahan.

Kualitas data pemilih, distribusi logistik, hingga rekapitulasi hasil akan lebih terjaga. Harapannya, ini akan meminimalisir maladministrasi yang seringkali memicu polemik pasca-pemilu. Kedua, bagi pemilih, proses ini akan jauh lebih sederhana.

Dengan tidak lagi harus mencoblos banyak surat suara secara bersamaan, mereka dapat lebih fokus pada isu-isu dan kandidat yang relevan di setiap tingkatan pemilihan. Ini berpotensi meningkatkan kualitas keputusan pemilih dan bukan hanya sekadar partisipasi angka.

Lebih dari itu, pemisahan ini diyakini akan memperkuat sistem presidensial dan memberikan ruang lebih bagi pemilihan legislatif serta lokal untuk mendapatkan perhatian yang proporsional.

BACA JUGA:Sufmi Dasco dan Raffi Ahmad Kunjungi Kantor Disway, Minta Maaf ke Dahlan Iskan

Seperti yang pernah dikaji oleh Ibnu Tricahayo dalam bukunya "Reformasi Pemilu: Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal" (2009), gagasan ini telah lama menjadi bagian dari diskursus reformasi manajemen pemilu di Indonesia.

Selanjutnya Prof. Dr. Didik Supriyanto seorang ahli tata negara dari Universitas Gadjah Mada, berkeyakinan Pemisahan pemilu ini adalah langkah progresif untuk mengembalikan esensi pemilihan, di mana pemilih benar-benar mempertimbangkan rekam jejak dan visi misi kandidat di setiap tingkatan, bukan sekadar ikut-ikutan atau terbawa arus kampanye presiden."

Namun, setiap perubahan besar pasti diiringi tantangan. Peningkatan biaya penyelenggaraan pemilu adalah konsekuensi yang tak terhindarkan, mengingat akan ada dua kali proses besar yang membutuhkan anggaran, logistik, dan sumber daya terpisah. 

Risiko penurunan partisipasi pemilih akibat "pemilu fatigue" juga patut diwaspadai, terutama jika jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal dirasa terlalu pendek.

Transisi ini juga menuntut kerja keras dari DPR dan Pemerintah untuk segera mengharmonisasi regulasi yang ada, mengisi kekosongan hukum, dan memastikan tidak ada tumpang tindih masa jabatan kepala daerah yang tersisa.

Dalam hal ini Ratnia Solihah, dalam JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Volume 3, Nomor 1 (2018), meskipun membahas pemilu serentak, secara implisit menyoroti bahwa tujuan pemilu yang adil dan berintegritas adalah untuk menciptakan pemerintahan yang lebih kuat dan legitimasi yang kokoh.

Kategori :