JAMBI, JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Tak semua senang ketika harus berhemat. Inilah reaksi yang muncul dari masyarakat menyikapi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto tentang penghematan anggaran.
Keinginan untuk mengefisienkan anggaran dan mengalihkan pada program yang penting untuk masyarakat pun berulang disampaikan Presiden Prabowo hingga lahir Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Namun, setelah diimplementasikan, tak sepenuhnya berjalan mulus.
Maksud Inpres tersebut menekankan efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2025 yang ditargetkan mencapai Rp306 Triliun.
Jauh sebelum Inpres ini, bukan rahasia lagi, pemborosan anggaran kerap terjadi di instansi pemerintahan pusat hingga daerah.
BACA JUGA:Sumur Minyak Ilegal di Senami Terbakar Lagi, 3 Pekerja Jadi Korban
BACA JUGA:14 Atlet Polda Jambi Ikut Tour Of Kemala di Yogyakarta
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merilis hasil pengawasannya terhadap anggaran pada 2023 dan menemukan belanja anggaran yang tak efektif dan efisien mencapai Rp 141,33 triliun.
Kondisi yang lahir di saat APBN defisit setiap tahunnya. Pertanyaannya, mau sampai kapan APBN kita defisitnya melebar ? membesar dan menambah hutang. Nah kebijakan efisinsi ini untuk mengurangi hal ini.
Namun, yang namanya penghematan tetap heboh, diskursus dimasyarakat menjalar. Hal yang paling terpikir dari pemotongan anggaran adalah pada program kerja yang bakal dihapus karena terbatasnya biaya.
Terlepas, efektip tidak programnya, itu urusan nanti. Menolak efisiensi menjadi pasti, seolah tak peduli pemerintah kekurangan uang akibat ruang fiskal APBN yang terbatas.
BACA JUGA:Jadwal Pertandingan Honda DBL with Kopi Good Day 2025 Jambi Hari Sabtu 15 Februari 2025
Sudah pasti, ada juga kekhawatiran, secara makro ekonomi akibat kebijakan pemangkasan anggaran ini, apalagi pemotongan anggaran jika dilakukan di sektor-sektor produktif seperti infrastruktur pokok, pendidikan, dan kesehatan, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Belum lagi, meski belum terbukti, bisa menurunkan daya beli masyarakat, ketidakpastian investasi publik, minimnya penciptaan lapangan kerja, dan produktivitas tenaga kerja.
Pemerintah tentu faham akan potensi risiko dari kebijakan ini, efisiensi anggaran yang terlalu ketat dapat mempengaruhi anggaran untuk sektor-sektor sosial penting, seperti pendidikan dan kesehatan.