JAKARTA,JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai tarif Borobudur tidak perlu diberlakukan hingga selangit.
Kenaikan tarif Candi Borobudur yang akan diberlakukan oleh pemerintah dinilai
tidak tepat untuk melindungi sebuah cagar budaya.
YLKI menilai peraturan anyar itu sama saja dengan menjauhkan masyarakat dengan pengetahuan sejarah.
Menurutnya, cara tersebut bukan untuk konservasi atau melindungi cagar budaya melainkan bersifat komersialisasi.
"Ketika pemerintah menaikan tarif dengan harga yang tidak terjangkau untuk beberapa kalangan, masyarakat tidak bisa melihat sejarah," ungkapnya.
Menurut Tulus, jika tarifnya naik setinggi langit berarti bukan untuk kepentingan konservasi melainkan komersialisasi, yakni hanya diperuntukan orang-orang kaya saja.
Tulus menyarankan agar pemerintah dan pihak pengelola bisa memberdayakan dan mengeksplor Candi Borobudur.
Misalnya, managemen bisa mengeksplorasi kawasan candi dengan wahana yang lain, yang bisa dikomersialisasikan.
"Menurut saya candi ternama di Kamboja, yakni Angkor Wat lebih terkenal dari Borobudur. Tarifnya masih murah, untuk orang asing hanya USD 20-26. Angkor Wat tetap eksis, bisa mendatangkan jutaan turis juga," tutup Tulus.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan berencana memberlakukan kenaikan harga tiket ke Candi Borobudur.
Adapun tarifnya dipatok sebesar Rp 750 ribu untuk wisata domestik dan USD 100 atau sekitar Rp 1.442.050 untuk wisatawan mancanegara seperti dikutip dari jpnn.com.
"Jika untuk kepentingan konservasi dan menyelamatkan Candi Borobudur, bisa dengan pembatasan kapasitas saja sudah cukup. Tidak perlu dengan tarif selangit," ujar Tulus, Selasa 7 Juni 2022. (viz)