Mahar Politik Pemicu Korupsi

Mahar Politik Pemicu Korupsi

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID, KOTA JAMBI ,JAMBI – Mahalnya mahar politik untuk menjadi kepala daerah, maupun anggota dewan, menjadi salah satu penyebab korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI pun meminta partai politik (parpol), untuk tidak mematok mahar besar kepada kader.

Direktur Sosialisasi dan Kampanye KPK RI Niken Arianti mengatakan, persiapan di tahun 2024, parpol harus memilih kader dengan reputasi dan integritas baik.

“Uang mahar tinggi, pendanaan terlalu besar maka ini bisa menjadi langkah awal terjadinya korupsi,” kata dia, saat pertemuan dengan petinggi partai yang ada di Provinsi Jambi, bertempat di ruang pola kantor Gubernur Jambi, Selasa (28/9).

Setelah menjadi kepala daerah atau anggota dewan melalui parpol, mereka berpeluang korupsi. “Mereka korupsi pada anggaran barang dan jasa dan pemerintah, termasuk jual beli jabatan hanya untuk membiayai partai. Jambi jangan sampai ada hal-hal buruk yang menimbulkan korupsi,” jelasnya.

Menurutnya, ini sudah banyak ditangani KPK. Bukan di Jambi. Salah satunya yakni Aziz Samsyudin yang membiayai anak-anaknya dari hasil korupsi dan lain sebagainya. Untuk di Jambi sendiri, masih sangat dinamis untuk terjadinya korupsi dari parpol.

Kasus suap ketok palu RAPBD Jambi beberapa tahun, yang menjerat mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, dan sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi, menjadi salah satu contoh. Kata Niken, jangan terjadi lagi.

“Pemerintah juga mengeluarkan biaya untuk parpol. Ini bisa cukup untuk mendanai parpol, sehingga tak perlu mahar tinggi,” sebutnya. Dengan pembiayaan tersebut, pemerintah bisa mengurangi beban partai politik.

Sementara it, Citra Darminto, Pengamat Politik dari Universitas Jambi (Unja) berpandangan, sejak munculnya konsep desentralisasi kekuasaan, yang memberikan kekuatan otonomi kepada kepala daerah, memberikan keleluasaan untuk melakukan korupsi. 

Ini karena jalan termudah menuju korupsi, adalah ketika ada kekuasan besar. Ditambah diskresi tetapi minim transparansi dan akuntabilitas. “Saya sependapat dengan Ketua KPK, bahwa korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah sangat berkaitan dengan mahalnya mahar politik dan biaya kontestasi Pilkada di negeri ini. Dari data yang saya lihat berdasarkan kajian KPK, kandidat bupati/walikota membutuhkan biaya politik rata-rata sekitar Rp 20 hingga Rp 30 miliar, serta bisa mencapai ratusan miliar bagi gubernur untuk maju Pilkada,” paparnya.

Jika ditelisik lebih dalam, kadang angka tersebut sangat jauh dari LKHPN yang dilaporkan oleh kandidat, yang rata-rata hanya berkisar Rp 5 miliar hingga Rp 8 miliar. Kekurangan biaya inilah, yang kemudian mendorong kandidat mencari sponsor kepada pengusaha atau swasta.

“Namun saya melihat, yang menjadi anomali adalah perbedaan jumlah dana yang dilaporkan kandidat kepada KPU, dengan realitanya sebenarnya sudah terjawab melalui temuan KPK. Kandidat yang diusung parpol, ternyata menyerahkan sejumlah uang kepada pengusung. Tetapi itu tidak pernah dilaporkan sebagai penerimaan dana parpol. Inilah penyebab aliran dana tersebut tidak dapat terlacak, yang kemudian akrab disebut dengan mahar politik,” katanya. 

Citra menilai, mahar politik berkaitan dengan sentralisasi kekuasaan Parpol. Berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2016, yang isinya kandidat jalur Partai Politik diharuskan mendapatkan rekomendasi dari DPP. Semakin banyak pintu yang ditempuh kandidat untuk mendapatkan rekomendasi pencalonan, menjadi faktor penting terjadinya praktek mahar politik. 

“Sebenarnya kita sudah memiliki peraturan hukum yang baik untuk mencegah terjadinya politik uang dalam kontestasi politik. Akan tetapi, ketika dihadapkan dengan realita, penegakan hukumnya masih sangat sulit, akibat rumitnya pemenuhan unsur tindak pidana dan pembuktian yang harus dilakukan. Dengan kata lain, hukum yang ada saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan praktik  kecurangan yang terjadi di lapangan,” katanya.

Dirinya menyimpulkan, apa yang disampaikan ketua KPK RI,  mahar politik sumber korupsi adalah benar. Karena bermuara dari adanya aliran-aliran uang gelap saat Pemilu. Dampak yang terjadi, biasanya pada tahun pertama masa jabatan, kepala daerah atau pejabat publik akan berfokus untuk mengembalikan modal pemilu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: