Perangkap Kekuasaan, Melenakan dan Menjerumuskan

Perangkap Kekuasaan, Melenakan dan Menjerumuskan

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

"Hari ini pejabat. Besok bisa langsung jadi penjahat.” (Romahurmziy, 2018), Quites ini hanya sebuah curahan hati mantan tokoh publik, bagaimana kekuasaan begitu cepat hilang dalam dekapan tangan.

Sejatinya kekuasaan itu musibah dimana seseorang harusnya melafadzkan innalillah, bukan hamdala. Mengutip Lord Acton yang menyebutkan power tends to corrupt, menyebutkan pada dasarnya kekuasaan itu koruptif. Baik kekuasan sekelas Kades, Camat, Kadis, Bupati, Walikota, Gubernur hingga sekelas Menteri.  Perilaku koruptif adalah candu yang melenakan tapi juga menjerumuskan.

Kekuasaan itu juga bersifat transaksional. Politik yang menghantarkan kekuasaan bersifat pragmatis. Tidak ada prinsip etik dan idealisme di dalamnya. Pergiliran kekuasaan sesungguhnya merupakan pergantian aktor dengan perilaku yang tidak berubah terhadap akses sumber daya finansial sebagai modal politik.

Berkaca pada kejadian aktual, dari kasus korupsi teranyar yang melibatkan semua tingkatan pejabat negara dari berbagai kelas, membuat kita semakin memahami bahwa memang pada dasarnya kekuasaan itu koruptif. 

Kepala daerah di Indonesia, termasuk di provinsi Jambi menghadapi jebakan dalam kekuasaaanya. Jebakan utama kepala daerah baik Gubernur, Bupati dan Walikota adalah politik akomodasi yang berlebihan yang menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.

Provinsi Jambi pasca kasus OTT yang memaksa Gubernur Zola dan puluhan anggota DPRD jadi pasien KPK, tidak pernah lepas dari pantauan radar lembaga anti rasuah tersebut. Bahkan Ketua KPK Firli Bahuri mengingatkan para anggota DPRD di Jambi agar menjauhi korupsi. Firli menegaskan tak segan-segan menangkap para anggota DPRD di Jambi jika mereka melakukan korupsi.

Hal itu disampaikan Firli di hadapan pimpinan dan perwakilan 11 partai politik di tingkat kabupaten/kota. Acara tersebut digelar di kantor Gubernur Jambi, Selasa (28/9/2021). Sampai saat ini, secara rutin tim KPK masih melakukan kunjungan untuk melakukan pantauan.

Tersumbunya kekuasaan pada lingkaran kekuasaan kepala daerah di Jambi relatip mudah dipetakan, jangankan oleh aparat hukum, masyarakat awam sendiri bisa dengan gamblang menceritakan dinamika pembagian kue kekuasaan ini terjadi. 

Penelitian Berenschot & Aspinall 2019 memberikan gambaran yang utuh mengenai perilaku koruptif sebagai bagian yang tidak bisa terpisahkan atas tindakan vote buying pada proses pemilihan politik.

Konsekuensi dari mahalnya ongkos politik tersebut membuat para aktor politik menggunakan kekuasaan melalui politik formal setelah terpilih untuk bertransaksi dalam upaya mengembalikan sumber daya yang terlah terpakai, sekaligus membentuk cadangan modal baru sebagai bahan persiapan pada periode pemilihan selanjutnya.

Uniknya di Jambi ada kecendrungan koalisi tanpa bagi-bagi kue. Ini bertolak belakang perspektif elite, strategic entry saat berkoalisi mengenal istilah struktur peluang, bahwa obesitas kekuasaan akibat praktik bagi-bagi kekuasaan yang berlebihan. Hebatnya, di Jambi kekuasaan itu ramping dan tak melibatkan banyak orang. Tentu saja ini hebat, dan kita berharap tak di ikuti perilaku yang ingin tampil sebagai penguasa tunggal yang koruktif.

Dari kasus ini memunculkan perilaku main urus sendiri, makan sendiri, kenyang sendiri dari pihak yang berkuasa meski jika apes yang kena ramai - ramai. Lahan subur dalam penempatan jabatan, perizinan, lelang, pengadaan dan fee dari proyek pemerintah menjadi modus biasa.

Nampaknya, bagai tuak kekuasaan yang memabukan, terus diminum meski memabukan. Politik menjadi jalur basah dan alat transaksi, tidak peduli citra bersih aktor politik dikonstruksikan, gemerincing uang menggiurkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: