Bank Tanah Alarm Bertambahnya Konflik Lahan di Provinsi Jambi

Bank Tanah Alarm Bertambahnya Konflik Lahan di Provinsi Jambi

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

Masalah pertanahan dan kebutuhan akan tanah berdampak pada kesenjangan pembangunan. Beberapa masalah di antaranya yakni keterbatasan tanah untuk pembangunan, terjadi ketimpangan kepemilikan tanah sehingga harga tanah tidak terkendali dan terdapat banyak potensi tanah terlantar yang belum dioptimalkan. Di sini perlunya peran pemerintah untuk menguasai, mengendalikan dan menyediakan tanah bagi kepentingan pembangunan dan pemerataan ekonomi. Suatu niat awal yang sungguh bagus dan mulia. 

Bank Tanah di atur dengan PP 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Dalam PP ini Badan Bank Tanah memiliki fungsi reforma agraria. “Reforma Agraria” adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Reforma agraria yang dilakukan oleh Bank Tanah dilaksanakan di luar kawasan hutan.

Salah satu urgensi pembentukan bank tanah sebagai land manager adalah semakin terbatasnya tanah yang  tersedia untuk berbagai keperluan pembangunan. 

Di  sisi ini peran pemerintah dalam pengaturan tanah  sangat minim sehingga selalu tertinggal dalam hal  penyediaan tanah untuk pembangunan. 

Peran pemerintah selama ini selalu terkendala oleh ketentuan yang berlaku pada birokrasi pemerintah sehingga perolehan tanah yang dikehendaki sering  tertinggal dari pihak swasta.

Pengaturan tanah oleh pemerintah hanya bertumpu pada peran sebagai pembuat aturan  mengenai pertanahan (land regulator). Sedangkan  peran lain tidak dilakukan oleh pemerintah yaitu  peran  sebagai pengatur ketersediaan tanah (land  manager). Sementara pihak pengembang telah  terlebih dahulu melakukan penguasaan tanah  berskala besar untuk kawasan perumahan (real  estate) dan kawasan industri (industrial estate).

Bank Tanah adalah badan khusus yang mengelola tanah, dan berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.

Namun, terbentuknya Bank Tanah dapat menimbulkan lebih banyak kerugian dibandingkan keuntungan sehingga pada akhirnya berpotensi mengganggu kepentingan masyarakat Indonesia. 

Konsep ini menurut saya patut untuk dipertanyakan, karena Bank Tanah sebagai penguasa dan pengelola tanah negara dinilai berpotensi menghidupkan kembali terjadinya domein verklaring yang pernah berlangsung pada zaman penjajahan Belanda. Adapun fungsi utama domein verklaring pada waktu itu adalah sebagai landasan hukum bagi pemerintah Belanda untuk memberikan hak-hak barat dan untuk mempermudah pemerintah Belanda mengambil tanah-tanah masyarakat berdasarkan hukum pembuktian yang legal. Isi domein verklaring pada intinya yaitu seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh pihak lain menjadi tanah domein milik negara.

Saat ini, domein verklaring telah dicabut dan dihapus secara tegas dalam Undang-Undang Pokok Agraria Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut sebagai UUPA), tepatnya pada bagian “memutuskan” dalam pembukaan. Pada butir 2, huruf a sampai dengan huruf c, secara tegas menyatakan bahwa berlakunya UUPA disertai dengan pencabutan “Domeinverklaring, Algemene Domeinverklaring, Domeinverklaring untuk Sumatera, Domeinverklaring untuk keresidenan Manado, dan Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo”. 

Munculnya Bank Tanah, walaupun tidak sama seperti domein verklaring, berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan oleh pemerintah dalam melakukan pengelolaan tanah. Berdasarkan pasal 6 UUPA, memang dinyatakan bahwa seluruh tanah yang ada di Indonesia memiliki fungsi sosial dan pemerintah berhak melakukan pengadaan tanah demi kepentingan sosial. Akan tetapi, dalam pengaturan UU Cipta Kerja, belum ada kejelasan mengenai kriteria dan persyaratan bagi Bank Tanah dalam melakukan pengadaan dan pengelolaan tanah. Jenis dan macam tanah seperti apa saja yang dapat dikelola oleh Bank Tanah juga tidak diatur dalam UU Cipta Kerja.

Ketidakjelasan tersebut dikhawatirkan menjadi celah penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Pemerintah melalui Bank Tanah memiliki kuasa untuk dapat mengambil tanah masyarakat, dengan dalih demi pengelolaan yang lebih berkembang. Hal tersebut tentu menimbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia. 

Konflik agraria dan pertanahan di Indonesia setidaknya disebabkan oleh tiga hal, yaitu: adanya pengembangan industri oleh pemerintah, adanya pemberian hak guna usaha kepada korporasi yang berhadapan dengan masyarakat, dan sengketa di lahan-lahan perhutanan yang dimiliki oleh perhutani yang berhadapan dengan masyarakat. Konflik agraria dan pertanahan ini juga disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: