Hubungan Hukum dengan Kekuasaan

Hubungan Hukum dengan Kekuasaan

Oleh: Sandy Mutaqqin Pranayudha

“Hukum Tanpa Kekuasaan Adalah Angan-Angan, Kekuasaan Tanpa Hukum Adalah Kelaliman”

Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta memberikan penjelasan sebagai berikut :

“Apakah Kekuasaan itu ? Samakah kekuasaan (power) itu dengan kekuatan (force) ? Orang yang memiliki kekuatan (fisik) sering juga berkuasa, sehingga ada kecenderungan setengah orang untuk menyamakan saja kekuasaan (power) itu dengan kekuatan (force). Ada kalanya, bahkan sering, tidaklah demikian halnya.

Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu fihak dalam suatu bidang tertentu. Dalam hal demikian dapat kita katakan, bahwa kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi. Pejabat pemerintah termasuk golongan ini.

Mengingat bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi pentaatan ketentuan-ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka. Sebaliknya, hukum berbeda dari kaidah sosial lainnya, yang juga mengenal bentuk-bentuk paksaan, dalam hal bahwa kekuasaan memaksa itu sendiri diatur oleh hukum baik mengenai ruang lingkup maupun pelaksanaannya.

Hubungan hukum dan kekuasaan dalam masyarakat dengan demikian dapat kita simpulkan sebagai berikut : hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara populer, kesimpulan ini barangkali dapat diungkapkan dalam slogan bahwa : hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.

Masalah hubungan hukum dan kekuasaan dalam negara hukum itu secara ekstrim bisa dipersoalkan sebagai berikut. Apakah hukum itu tunduk kepada kekuasaan ataukah kekuasaan tunduk pada hukum ? Dua hal yang menentukan dalam hal ini. Apa yang menjadi fakta kenyataan dalam masyarakat. Dan apa yang kita bangsa Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara menghadaki mengenai hal ini.

Pengamatan kenyataan kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa pada umumnya pemegang-pemegang kekuasaan dalam pemerintahan umum itu baik kepala kampung, kepala desa, bupati, gubernur, menteri hingga kepala negara kekuasaannya terbatas pada ruang lingkup kekuasaannya yang diatur oleh hukum. Demikian pula dengan pemegang jabatan yang memegang kekuasaan dalam ruang lingkup masing-masing bidang yang meliputi penegakan hukum seperti polisi, jaksa dan hakim maupun pertahanan dan keamanan seperti : Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Para menteri berkuasa dalam bidang wewenangnya masing-masing tidak di luarnya.

Para pejabat ini tidak saja terbatas wewenang dan kekuasaannya tetapi saling membutuhkan dan harus kerjasama. adakalanya keteraturan dalam melaksanakan wewenang dan kekuasaan yang diatur oleh hukum ini terganggu apabila ada pejabat yang melampaui batas wewenang atau kekuasaannya. Dalam hal demikian maka terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu bisa terjadi misalnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau golongan. Kejadian-kejadian demikian dipermudah apabila batas-batas wewenang dan kekuasaan tidak jelas dan perbuatan itu dibiarkan oleh atasan atau rakyat. Toleransi dan sikap acuh tak acuh mempermudah terjadinya pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Karena itu batas-batas wewenang dan kekuasaan harus jelas diatur oleh undang-undang dan rakyat melalui wakil-wakilnya harus waspada dan melakukan fungsi pengawasannya.

Terlaksananya cita-cita negara hukum tidak akan terjadi atau datang dengan sendirinya melainkan memerlukan kewaspadaan dan kemauan untuk melaksanakan hak-hak kita sebagai warganegara, termasuk untuk mewujudkan masyarakat dan negara yang kita inginkan yakini masyarakat dan negara berdasarkan hukum.

Kalau kita tidak atau lalai menggunakan hak kita sebagai warganegara yang baik, dalam persaingan yang terus menerus antara hukum dan kekuasaan ini, kekuasaan akan menang dan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan bahkan dapat mengakibatkan kesewenangan-wenangan. Jadi kenyataan apakah dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan itu hukum akan unggul atau kekuasaan yang menang tidak saja tergantung dari cita-cita kita sebagai bangsa, tetapi juga ditentukan oleh kemauan kita untuk mewujudkan cita-cita dalam kenyataan hidup sehari-hari. Dengan perkataan lain cita-cita bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum banyak bergantung kepada apakah ada kemauan pada kita untuk mewujudkan cita hukum itu dalam kenyataan.

Mengingat adanya tarikan atau tegangan yang terus menerus dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan itu, jawaban atas pertanyaan di atas apakah kekuasaan tunduk pada hukum, ataukah hukum itu tunduk pada kekuasaan ? dapat dijawab dengan tegas bahwa menurut cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang bertekad menghapuskan penjajahan dari muka bumi, berikut segala akibatnya, yang diinginkan adalah bahwa Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum”.

Hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang berbeda namun saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum adalah suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku manusia. Sehingga hukum tidak merujuk pada satu aturan tunggal, tapi bisa disebut sebagai kesatuan aturan yang membentuk sebuah sistem. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan perilaku. Bisa dibayangkan dampak apabila hukum dan kekuasaan saling berpengaruh. Di satu sisi kekuasaan tanpa ada sistem aturan maka akan terjadi kompetisi seperti halnya yang terjadi di alam.

Siapa yang kuat, maka dialah yang menang dan berhak melakukan apapun kepada siapa saja. Sedangkan hukum tanpa ada kekuasaan di belakangnya, maka hukum tersebut akan “mandul” dan tidak bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini karena masyarakat tidak memiliki ikatan kewajiban dengan si pengeluar kebijakan. Sehingga masyarakat berhak melakukan hal-hal yang di luar hukum yang telah dibuat dan di sisi lain pihak yang mengeluarkan hukum tidak bisa melakukan paksaan ke masyarakat untuk mematuhi hukum.

Dari dasar pemikiran diatas maka bisa disimpulkan bahwa antara hukum dan kekuasaan saling berhubungan dalam bentuk saling berpengaruh satu sama lain. Kekuasaan perlu sebuah “kemasan” yang bisa memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan yaitu politik. Yang menjadi permasalahan adalah mana yang menjadi hal yang mempengaruhi atau yang dipengaruhi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak bisa satu hal saja yang mempengaruhi hal yang dipengaruhi. Antara hukum dan kekuasaan saling berpengaruh satu sama lain atau bisa disebut saling melengkapi. Sehingga di satu sisi hukum yang dipengaruhi oleh kekuasaan begitu sebaliknya.

Namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa proporsi dari kekuasaan dalam mempengaruhi hukum lebih berperan atau menyentuh ke ranah substansial dalam artian hukum dijadikan “kendaraan” untuk melegalkan kebijakan-kebiajakn dari yang berkuasa. Sedangkan hukum dalam mempengaruhi kekuasaan hanya menyentuh ke ranah-ranah formil yang berarti hanya mengatur bagaimana cara membagai dan menyelenggarakan kekuasaan seperti yang ada dalam konstitusi.

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Jambi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: