Putaran Pilpres Diprediksi Dua Kali, SMRC: Bila Ada Tiga Pasang Kandidat

Putaran Pilpres Diprediksi Dua Kali, SMRC: Bila Ada Tiga Pasang Kandidat

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - PUTARAN pemilihan presiden (pilpres) bisa jadi digelar dua putaran, jika ada tiga pasang kandidat bakal calon presiden yang maju dalam ajang politik 5 tahunan ini.

Ilmuan politik, Prof Saiful Mujani mengutarakan hal ini dalam program Bedah Politik episode “Prabowo-Puan vs Ganjar-Airlangga atau Anies-AHY?” yang tayang di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 21 April 2022 lalu.

Dia mengungkapkan, bila ajang pilpres diikuti tiga pasangan seperti Anies Baswedan-Agus Harimurti Yudhoyono, Ganjar Pranowo-Airlangga Hartarto, dan Parbowo Subianto-Puan Maharani, maka tak menutup kemungkinan hasilnya seimbang.

Secara statistik memang, suara mereka tidak berbeda signifikan.  29,8 persen suara akan diraih pasangan Anies-AHY. Sementara Ganjar-Airlangga 28,5 persen, dan Prabowo-Puan memeroleh 27,5 persen.

Baca Juga: Wow, Ini 7 Manfaat Luar Biasa Air Jahe Campur Bawang Putih

Baca Juga: Tips Buat Perokok Berat, Biar Kualitas Sperma Lebih Tokcer

Maka dari itu, masih ada 14,3 persen yang belum menjawab atau tidak tahu. Lanjutnya, suara yang berimbang ini akan mengakibatkan pemilihan presiden tidak berlangsung satu putaran, melainkan dua putaran.

Apalagi menimbang, survei yang dilakukan pada 1.220 responden ini,  dipilih secara acak dengan metode stratified multistage random sampling terhadap keseluruhan populasi. Atau warga negara Indonesia yang sudah memiliki hak pilih, yakni mereka yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah.

Didapat response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1.027 atau 84%. Sebanyak 1.027 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,12% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). Wawancara tatap muka dilakukan pada 13-20 Maret 2022.

Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini menjelaskan setidaknya ada enam faktor yang bisa mempengaruhi partai politik bisa berkoalisi dan mendukung satu pasangan tertentu.

Baca Juga: Anaknya Dibully, Rizky Billar dan Lesty Kejora Bakal Lapor Polisi, Netizen Siap-siap

Baca Juga: Buruan Daftar, Polda Metro Jaya Sediakan Mudik Gratis

Faktor pertama, kesamaan platform partai atau ideologi. Ideologi yang dimaksud dalam konteks Indonesia adalah partai yang lebih nasionalis atau kebangsaan, partai yang lebih pluralis dalam pengertian inklusif terhadap pelbagai identitas.

Di sisi yang lain ada partai yang lebih menekankan Islam, lebih eksklusif karena Islam lebih diutamakan, kurang terbuka pada semua unsur yang beragam dalam masyarakat Indonesia.

Saiful menilai ada dua kutub ideologi politik di Indonesia. Kutub yang paling nasionalis adalah PDIP. Sementara kutub yang paling Islam adalah PKS. Karena jarak ideologisnya jauh, antara PDIP dan PKS, maka kemungkinan untuk bersama-sama di tingkat nasional tidak mudah. Sementara partai-partai dalam spektrum antara PDIP dan PKS bisa berkoalisi dilihat dari sisi ideologi, misalnya PDIP dengan Golkar, Demokrat, dan Nasdem.

Faktor kedua, komunikasi elit. “Komunikasi elit sangat menentukan,” kata Saiful.

BACA JUGA: Pengamanan Mudik 2022, 3 Pospam dan 140 Personel Dilibatkan di Tanjab Timur

BACA JUGA: Awas! Ormas yang Minta THR ke Pengusaha akan Ditindak

Dia menjelaskan bahwa sejak Pemilihan Presiden 2004 sampai sekarang, terlihat PDIP dan Demokrat tidak mudah untuk melakukan komunikasi. Ketika Demokrat berkuasa dan SBY sebagai presiden, PDIP memilih sebagai partai oposisi.

Ketika PDIP berkuasa, sebagai partai terbesar pendukung pemerintah, Demokrat sebenarnya ingin bergabung sebagai partai pendukung pemerintah, tapi PDIP nampaknya tidak menerima.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, lanjut Saiful, Nasdem dan Gerindra juga tidak mudah untuk bertemu. Mereka punya pengalaman tersendiri tentang itu. Belakangan, Nasdem dan PDIP juga tidak mudah berkomunikasi.

“Oleh karena itu, faktor kemudahan komunikasi dan suasana kebatinan di antara elit partai akan mempengaruhi formasi koalisi,” simpulnya.

BACA JUGA: Kondisi Sehat, Harimau yang Masuk Perangkat BKSDA Siap Dilepasliarkan

BACA JUGA: Pemilik Dua Gudang Minyak Diduga Ilegal di Sijenjang, akan Dipanggil

Faktor ketiga, adanya tiga partai besar yang sangat berpengaruh untuk menjadi atau menarik poros koalisi, yaitu PDIP, yang tanpa koalisi pun sudah cukup untuk mencalonkan presiden. Kemudian Gerindra dan Golkar yang masih membutuhkan tambahan sedikit tambahan suara.

Faktor keempat, intensitas harus menjadi calon presiden. Ada partai yang pimpinannya harus jadi calon presiden, yaitu Gerindra. Saiful menyatakan bahwa mungkin pertimbangannya adalah efek Prabowo pada partai Gerindra itu sendiri.

Sementara partai-partai lain tidak sekuat dukungan pada Prabowo. Misalnya Golkar dengan Airlangga belum terlalu yakin apakah akan maju sebagai nomor satu. Demikian juga Puan Maharani, walaupun partainya besar, juga belum kuat didorong untuk menjadi calon presiden. Karena itu, jelas Saiful, faktor Prabowo menjadi sangat penting karena dia akan maju menjadi nomor satu.

Faktor kelima, elektabilitas bakal calon. Saiful menunjukkan bahwa dalam dua tahun terakhir, belum ada perubahan signifikan dalam komposisi dukungan pemilih terhadap calon. Tiga besar yang mendapatkan dukungan terbanyak dari publik adalah Prabowo, Ganjar, dan Anies. Prabowo dan Ganjar sudah seimbang. Sementara dalam setahun terakhir, Maret 2021 sampai Maret 2022, Ganjar dan Anies mengalami kemajuan.

Faktor keenam, Ormas Nahdlatul Ulama (NU). “NU juga ikut berpengaruh, setidak-tidaknya untuk calon wakil presiden,” terang Saiful.

Saiful menjelaskan bahwa dalam sejarahnya, Megawati atau PDIP cenderung akan berkoalisi dengan tokoh-tokoh dari Nahdlatul Ulama. Pada 2004, Megawati menggandeng Hasyim Muzadi, 2014 Jokowi-Yusuf Kalla, dan 2019 Jokowi-Makruf Amin. Ada kecenderungan PDIP memilih tokoh NU sebagai calon wakil presiden.

Saiful menyimpulkan bahwa dari kombinasi enam variabel itu, yang paling mungkin muncul adalah tiga poros atau tiga pasangan. Poros pertama adalah PDIP. Partai ini bisa mengambil siapa saja, kemungkinan PPP agar suasana Islam bisa terbentuk.

Poros kedua adalah Gerindra. Suara partai ini tidak cukup, mereka membutuhkan setidaknya satu partai lain. Jika PKB bergabung, itu cukup untuk memasangkan Prabowo dan Muhaimin, misalnya.

Poros ketiga adalah Golkar. Golkar bisa terbuka untuk Nasdem, Demokrat, atau PKS.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: