Kaitan Etika Administrasi dengan Tindakan Gratifikasi

Kaitan Etika Administrasi dengan Tindakan Gratifikasi

Oleh: Dinda Tiffany, Muhammad Rois Fathoni Warsito, Zanetta Yuniar Kurniawan

Tindakan korupsi yang kerap dilakukan oleh oknum penyelenggara negara atau oknum pegawai negeri salah satunya adalah praktik gratifikasi. Istilah gratifikasi mungkin asing untuk didengar bagi sebagian besar masyarakat, namun sebenarnya gratifikasi bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Untuk di Indonesia sendiri, gratifikasi sudah seperti menjadi suatu kebiasaan yang biasanya pemberian tersebut jika berbentuk suatu barang akan diatasnamakan sebagai pemberian cinderamata untuk kenang-kenangan. Tentu saja hal ini menjadikan asumsi kepada orang yang mengetahui tentang pemberian tersebut bahwasannya gratifikasi sebagai hal yang wajar untuk dilakukan atau biasa saja serta tidak menjadi suatu hal yang salah. Contoh hal kecil yang mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahuinya yaitu setiap kali ada pejabat salah satu instansi negara yang datang ke suatu daerah, biasanya akan diberikan cinderamata oleh pemerintah daerah tersebut dengan tujuan ketika pemerintah daerah tersebut akan melakukan urusan lain dengan instansi tersebut dipermudah prosesnya.

Di Indonesia aturan mengenai gratifikasi tercantum pada UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12b ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap tindakan gratifikasi kepada penyelenggara negeri atau pegawai negara dianggap sebagai suap apabila terdapat hubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan tugas atau kewajibannya. Adapun ketentuan tentang barang yang bisa dianggap gratifikasi sebagai berikut: yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi atau pembuktian terbalik, yang nilainya kurang dari Rp10 juta, serta pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penuntut umum. Dan pada Pasal 12c ayat (1) terdapat aturan yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12b Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK”. Maksud dari pasal ini sendiri adalah apabila penerima melaporkan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka gratifikasi tersebut akan dianggap sebagai hibah atau hadiah yang akan dikenakan pajak atasnya dan tidak jatuhi hukum.

Berdasarkan laman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gratifikasi diartikan juga sebagai suap yang tertunda atau suap terselubung. Gratifikasi sering dianggap sebagai akar dari korupsi. Pegawai negara atau penyelenggara negara lainnya dikhawatirkan dapat terbiasa

menerima gratifikasi yang kemudian semakin lama akan semakin terjerumus untuk melakukan tindakan korupsi dalam bentuk lain yakni suap-menyuap, penggelapan jabatan, dan lain sebagainya.

Seperti yang kita tahu, gratifikasi merupakan pemberian suatu imbalan, hadiah, atau pemberian oleh orang yang pernah mendapat keuntungan maupun jasa atau dapat dilakukan oleh orang yang telah atau sedang berurusan dengan lembaga pemerintahan atau publik dalam usaha untuk mendapatkan suatu kontrak dan lain sebagainya. Pelarangan atas segala bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi kepada seseorang terkait kapasitasnya sebagai penyelenggara negara atau pemimpin negara bukanlah sesuatu yang belum pernah terjadi atau baru. Gratifikasi menjadi suatu perhatian khusus karena peraturan mengenai gratifikasi merupakan ketentuan yang baru dalam perundang-undangan dan perlu sosialisasi yang lebih optimal. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjelaskan bahwa gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, pengobatan cuma-cuma, barang, tiket perjalanan, pinjaman tanpa bunga, rabat atau diskon, komisis, perjalanan wisata, dan fasilitas-fasilitas lainnya.

Tindakan gratifikasi berbenturan dengan etika administrasi. Hal itu disebabkan karena tindakan gratifikasi sendiri tidak memenuhi asas persamaan yang terdapat pada etika administrasi yang dimana hal itu disebabkan oleh hal yang diterima oleh pejabat dan bawahannya berbeda. Etika berasal dari bahasa Yunani, "Ethos" yang artinya kebiasaan, watak, atau adat istiadat. Dapat diartikan bahwa etika sejalan dengan kebiasaan hidup seseorang maupun masyarakat yang telah diwariskan secara turun menurun dari suatu generasi ke generasi lain. Salah satu bentuk etika adalah etika administrasi. Menurut Chandler & Plano (The Public Administration Dictionary, 1982), etika administrasi merupakan seperangkat aturan atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi administrator publik dalam melaksanakan fungsinya.

Gratifikasi tentunya dapat mengakibatkan dampak negatif dan dapat pula disalahgunakan khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Atas dasar tersebut, gratifikasi diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Gratifikasi dianggap sebagai sebuah tindakan yang jika menjadi sebuah kebiasaan akan menimbulkan tindakan korupsi. Gratifikasi sendiri sebenarnya dilarang karena dapat menyebabkan pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dapat bersikap secara obyektif, adil dan profesional. Dikhawatirkan pegawai negeri atau penyelenggara negara jika terbiasa menerima gratifikasi, akan terjerumus melakukan tindakan

korupsi dalam bentuk lainnya seperti suap, pemerasan, penggelapan, dan bentuk tindakan korupsi lainnya.

Gratifikasi tentunya dapat mengakibatkan dampak negatif dan bisa pula disalahgunakan khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Atas dasar tersebut, gratifikasi diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Gratifikasi dianggap sebagai sebuah tindakan yang jika menjadi sebuah kebiasaan akan menimbulkan tindakan korupsi. Gratifikasi sendiri sebenarnya dilarang karena dapat menyebabkan pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dapat bersikap secara obyektif, adil dan profesional. Dikhawatirkan pegawai negeri atau penyelenggara negara jika terbiasa menerima gratifikasi, akan terjerumus melakukan tindakan korupsi dalam bentuk lainnya seperti suap, pemerasan, penggelapan, dan bentuk tindakan korupsi lainnya. Akibat dari gratifikasi tersebut, pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Meskipun penerima maupun pelaku gratifikasi dikenakan sanksi yang cukup berat, tetapi beberapa orang masih melakukan tindakan untuk menerima bahkan mencari cara untuk mendapatkan gratifikasi. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan agar terhindari dari perbuatan atau godaan perbuatan gratifikasi, yaitu:

  1. Sosialisasi mengenai tindakan gratifikasi
  2. Meningkatkan kesadaran pelaporan gratifikasi
  3. Meminimalisir dampak buruk psikologis pelapor gratifikasi

Setiap anggota masyarakat khususnya administrator atau penyelenggara pemerintah seharusnya memberikan contoh yang baik serta mengayomi warganya, bukan melakukan tindakan melanggar hukum seperti halnya gratifikasi. Pemimpin seharusnya memberikan contoh yang baik untuk orang-orang yang dipimpinnya, sama halnya dengan pemimpin suatu daerah yang harus memberikan contoh yang baik untuk warganya. Kenyataannya, terdapat berbagai kasus yang menunjukkan sikap buruk dari para pemimpin, termasuk pemimpin negara ini. Melihat kondisi bangsa yang semakin terpuruk menghadapi korupsi di Indonesia, semakin penting pula untuk melihat sejauh mana korupsi menabrak fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki etika dan akhlak mulia. Seorang pemimpin yang melakukan korupsi atau koruptor secara nyata telah merugikan kepentingan masyarakat, memperlambat kemajuan ekonomi, merusak moralitas serta memperlemah perekonomian nasional. Sehingga sangat tepat apabila disebut korupsi termasuk ke dalam sarana yang dapat menghancurkan sebuah bangsa.

Oleh sebab itu, kita sebagai warga Indonesia hendaknya dapat membedakan gratifikasi dan korupsi sehingga bisa menghindari gratifikasi dimanapun kita berada dan pelajari sehingga kita tidak menyimpang serta paham tentang gratifikasi. Dapat ditarik saran bahwa pemerintah hendaknya lebih bersifat tegas dalam penegakan hukum terhadap gratifikasi, dan mensosialisasikan gratifikasi ini kepada masyarakat agar masyarakat lebih memahami pemberian yang dilarang untuk diberikan kepada pejabat Negara. Kepada pejabat Negara hendaknya lebih bersikap terbuka dan jujur terhadap penerimaan yang diterima di luar kewenangannya, bersikap kooperatif dengan aparat penegak hukum terkhusus KPK, untuk melaporkan atas segala penerimaan gratifikasi yang diterimanya. Bagi masyarakat untuk lebih bersikap bijaksana dalam bertindak, bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk melawan perbuatan gratifikasi, serta menjauhi tindakan pemberian yang tidak seharusnya dan sepatutnya diberikan kepada pejabat Negara.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: