Barang bukti

Barang bukti

Oleh: Musri Nauli

Di dalam Lapangan hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara Perdata, banyak sekali yurisprudensi yang mengatur tentang barang bukti.

Sebagai contoh gugatan terhadap barang bukti atas dasar kepemilikan. Sebagaimana didalam pertimbangan Putusan Mahkamah Agung No.3602 K/Pdt/1998 dijelaskan “Upaya hukum yang dapat ditempuh pihak ketiga atas barang bukti yang dirampas untuk negara melalui putusan pengadilan adalah gugatan dan bukan Bantahan sesuai pasal 16 (3) UU Darurat No. 7 Tahun 1955 jo Pasal 35 (3) UU No  3 Tahun 1971 jo Pasal 195 (3) HIR.

Sedangkan Gugatan terhadap negara yang merampas barang bukti dijelaskan didalam putusan Mahkamah Agung No.3404 K/Pdt/1999 yang menerangkan “Pihak Ketiga yang beritikad baik yang berkeberatan atas Putusan Hakim Pidana yang merampas untuk negara barang bukti berupa tanah yang menurutnya adalah miliknya dan bukan milik terdakwa dalam kasus korupsi, maka “pihak ketiga” ini dapat mengajukan gugatan, bukan dalam bentuk Bantahan atau perlawanan (derden verzet), dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah pengumuman Putusan Hakim Pidana tersebut (vide pasal 35 ayat (1) (2) (3) UU No  3 Tahun 1971.

Sehingga Dalam perlawanan pihak ketiga tersebut, pelawan harus dapat membuktikan bahwa ia mempunyai alas hak atas barang yang disita dan apabila ia berhasil membuktikan, maka ia akan dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat. Apabila pelawan tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita, maka pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan yang tidak jujur dan sita akan dipertahankan. 

Didalam hukum acara perdata pada prinsipnya hibah tidak boleh merugikan ahli waris lain. Makna ini dapat ditemukan didalam Mahkamah Agung No 2161 K/Pdt/1995 yang menegaskan “Hibah dapat dibatalkan bila terbukti merugikan hak ahli waris lainnya.

Atau dapat dilihat di dalam Mahkamah Agung No 1115 K/Pdt/1996 yang menegaskan “Hibah dapat dianggap sah jika dilakukan melalui rapat desa dan tidak menimbulkan kerugian bagi ahli waris lain.

Dengan demikian berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No 2236 K/Pdt/1997, “Upaya hukum terhadap pembatalan wasiat adalah dalam bentuk gugatan dan bukan dalam bentuk perlawanan (verzet).

Oleh karena itu maka berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No 332 K/AG/2000 maka “Apabila dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris, maka hibah tersebut batal demi hukum karena salah satu syarat hibah adalah barang yang dihibahkan harus milik pemberi hibah sendiri bukan merupakan harta warisan yang belum dibagi dan bukan pula harta yang masih terikat dengan suatu sengketa.

 

Advokat. Tinggal di Jambi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: