Paradoks " Investasi " Selubung Eksploitasi Lingkungan dan Kemanusian?

Paradoks

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi 

Tidak seperti yang di gembar - gemborkan, derap kemajuan pembangunan zona pariwisata super premium di nampaknya tidak membawa kesejahteraan masyarakat. Mau buktinya ? Kita ambil uji petik kasus yang terjadi di Kabupaten Manggarai Barat, NTT.

Kesenjangan ekonomi yang terjadi MABAR tidak setara dengan besarnya nilai investasi super premium senilai triliunan rupiah itu. Ini menjadi semacam paradoks pembangunan disana, sebanyak 229 proyek yang masuk di Mabar dengan total investasi kurang lebih Rp 90 triliunan, tak sebanding dengan Income perkapita masyarakat disana yang hanya 416 ribu. 49 ribu orang disana masih terkategori miskin, bahkan angka kemiskinan di Mabar nyaris tak bergerak dari tahun ke tahun, yakni rata - rata menurun 0,5 persen pertahun. Amat tak sebanding dengan perputaran modal yang ada disana.

Ini sebuah ironi, ketika Kabupaten Manggarai Barat menjadi pusat perhatian kalangan investor, sejak Presiden Jokowi menetapkan Labuan Bajo menjadi zona wisata super premium. Namun, brand design pariwisata super premium di Labuan Bajo ternyata tak sebanding denga  kesejahteraan rakyat.

Kasus serupa juga terjadi di kawasan wisata lain. Ambil contoh pada kawasan Danau Toba,  dengan luas 1.145 kilometer persegi, danau terbesar di Asia Tenggara– dan kedalaman 450 meter, menyimpan keindahan panorama sebagai hasil erupsi supervolcano yaitu Gunung Toba sekitar 74 ribu tahun yang lalu.

Terdapat tujuh kabupaten yang berbatasan langsung secara spasial di Kawasan Danau Toba (KDT), yaitu Kabupaten Toba, Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Karo, dan Dairi. Pertanyaan penting menyangkut kepariwisataan Danau Toba adalah, seberapa besar sektor pariwisata berkontribusi bagi pendapatan domestik regional bruto (PDRB) di Kawasan Danau Toba ?

Selama dua dekade terakhir, sektor ekonomi dominan yang berkontribusi dalam pembentukan PDRB di KDT adalah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan, sektor konstruksi, sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor industri pengolahan nonmigas. Sektor pariwisata hanya berkontribusi kurang dari 5% dalam pembentukan PDRB di KDT.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemanfaatan kekayaan sumber daya alam berupa keindahan panorama Danau Toba belum mampu menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi di KDT. 

Pertumbuhan ekonomi di tujuh kabupaten di KDT masih berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara yang berada pada tingkat 5,49%. Sebagai necessary condition dalam pembangunan, pertumbuhan ekonomi di KDT belum memiliki kekuatan untuk menghasilkan kesejahteraan berupa reduksi tingkat kemiskinan di KDT. Buktinya, tingkat kemiskinan di tujuh kabupaten di KDT berada di atas tingkat kemiskinan Provinsi Sumatera Utara yang berada pada tingkat 12,31%.

Padahal melalui penetapan Danau Toba sebagai DPSP diharapkan menjadi pemicu terhadap peningkatan perekonomian KDT. Pembangunan ekonomi sektoral oleh masing-masing kabupaten di KDT diharapkan menjadikan sektor pariwisata sebagai tujuan akhir pembangunan kawasan yang berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di KDT. Namun harapan itu seolah menjadi semu, kecil sekali dampaknya bagi masyarakat, apalagi menghasilkan kemakmuran masyarakat di KDT secara khusus, dan kemakmuran Indonesia secara umum.

Investasi atau Ekploitasi

Ide tentang investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi guna pembangunan suatu negara sangat kerap direproduksi secara repetitif oleh para birokrat dan intelektual pro-liberalisme.

Adalah seorang Walt Whitman Rostow, seorang ekonom berkebangsaan Amerika Serikat. Bagi Rostow, modal begitu penting untuk negara menuju ke arah modernisasi. Inti dari gagasannya adalah menyarankan negara Dunia Ketiga apabila ingin menuju modernisasi, harus meniru dan dibantu oleh negara maju. Salah satu caranya adalah dengan menekankan  investasi atau suntikan modal dari luar negeri untuk membangun industri guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Ide tentang modernisasi Rostow tersebut dituangkannya dalam buku yang berjudul “The Stage of Economic Growth”, dimana masyarakat akan berevolusi dari tahap tradisional menuju ke tahap modernisasi atau mengalami lima fase, yakni: tradisional; prakondisi lepas landas; lepas landas; bergerak kedewasaan; konsumsi tinggi.

Sayangnya, gagasan-gagasan tersebut hanya bagus di atas kertas. Karena nyatanya, intervensi pemerintah dan kepentingan politik, di tengah desakan kapitalisme global, negara hanya berperan sebagai watchdog untuk memuluskan agenda ekonomi-politik neoliberal. Seperti misalnya, wacana investasi tersebut atau melakukan deregulasi (penghapusan peraturan yang membatasi perputaran modal). Bahkan, hari ini data menunjukan investasi cenderung hanya sebuah selubug eksploitasi Lingkungan dan kemanusian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: