JAMBI, JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - "Jangan bermain api di ladang kering," kata pepatah lama. Sayangnya, kebijakan yang dibuat oleh Bupati Pati, Sudewo, dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 250% adalah seperti menyiram bensin ke bara dalam kondisi ekonomi rakyat yang masih terseok. Dampaknya terdengar hingga tingkat nasional, bahkan dunia dan membuat kegaduhan politik negeri ini.
Masalahnya bukan sekadar angka. Masalah sebenarnya adalah cara. Besaran kenaikan PBB 250% itu dilakukan dengan tidak ada komunikasi yang matang, sosialisasi yang memadai, dan tanpa memikirkan bahwa rakyat sedang dihimpit harga kebutuhan pokok yang merangkak naik dan seabrek masalah lainnya.
Kondisi-kondisi ini tidak membuat Bupati Sudewo membatalkan kebijakannya, bahkan cenderung menantang rakyat dengan pernyataan provokatifnya.
Pada akhirnya, puluhan ribu orang tumpah ruah ke jalan menuntut pembatalan kebijakan tersebut dan meminta Bupati Sudewo mundur dari jabatannya. Demontrasi besar-besaran di Pati melibatkan ribuan orang, sehingga reputasi pemerintah daerah tercoreng hanya dalam hitungan hari.
BACA JUGA:Gerakan Pangan Murah, Polda Jambi Gelontorkan 7 Ton Beras
Kepemimpinan bukan hanya berani membuat keputusan, tetapi juga cerdas membaca perasaan orang. Kepala daerah boleh berinovasi untuk menambah pendapatan daerah, akan tetapi tanpa empati, kebijakan akan terasa seperti hukuman bagi rakyat. Dan ketika rakyat merasa dihukum tanpa alasan yang jelas, protes bukan lagi pilihan—melainkan keharusan.
Kasus ini memberikan pelajaran penting bagi semua pejabat daerah: jangan pernah melihat rakyat hanya sebagai angka di tabel pendapatan. Mereka adalah manusia, dengan emosi, dan hak untuk marah.
Restrukturisasi anggaran, kenaikan pajak, atau kebijakan fiskal lainnya harus dikomunikasikan dengan jelas, disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami, dan dilaksanakan dengan empati masyarakat.
Sekarang, Pati adalah contoh nyata dari bagaimana keputusan yang salah urus dapat menghasilkan badai politik. Pati sekali lagi membuktikan bahwa kekuatan rakyat (people power) menjadi sarana yang efektif mengoreksi pemerintah yang salah kaprah.
BACA JUGA:Keliru Soal Akar: Fiskal APBD Bisa Malfungsi
Kasus Pati memberikan pesan yang sangat jelas jelas: dalam demokrasi lokal, kursi jabatan bukan milik pribadi itu adalah titipan rakyat. Dan titipan itu bisa diambil kembali kapan saja, bila pemimpin lupa bahwa kekuasaan tanpa empati hanyalah jalan pintas menuju kehancuran politik.
Dr. Pahrudin HM, M.A.
Analis Politik dan Kebijakan Universitas Nurdin Hamzah
Direktur Eksekutif Public Trust Institute (PUTIN)
Ketua Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) Klaster Sumbagsel