Golput Musuh Demokrasi

Kamis 25-05-2023,15:56 WIB
Editor : Jambi Independent

Oleh: JOHAN ISWADI, SP

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Hari rabu tanggal 14 Pebruari 2024 mendatang, bangsa Indonesia menggelar agenda besar pesta demokrasi, yakni Pemilihan Umum. Pesta besar ini, akan diikuti oleh 18 partai politik nasional dan 6 partai lokal Aceh. Tentunya nanti akan tambah ramai dengan dengan jutaan calon legislative yang akan berebut kursi parlemen untuk DPRD Kabupaten/kota, DPRD Propinsi, dan DPR RI. Bukan itu saja, akan ada peserta perorangan untuk mengisi slot anggotta DPD RI. Nah, akan membuat tambah meriah pesta rakyat ini, nanti akan dilengkapi dengan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Andai pemilu dibaratkan pertarungan kolosal, maka ada hantu yang paling menakutkan yang akan membuat keder para peserta pemilu bernama Gologan Putih (GOLPUT) , sebab golput bisa saja menumbangkan siapa saja dan arahnya bisa kemana saja.   

Fenomena ini harus diwaspadai sebab dari tahun ke tahun penganut paham ini terus meningkat, jika kita lihat dari pemilu legislatif dan pemilu presiden pada tahun 2004, yaitu 23 persen dan 21 persen. Angka ini terus naik dalam pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2009, yaitu 29 persen dan 29,1 persen. Dan di tahun 2014, yaitu 32% dan 30%. 

Istilah Golput berawal pada masa orde baru, penguasa bercorak militeristik begitu kuat, kelompok civil society tak berdaya membendung berbagai kebijakan tak populis. Kondisi demikian mendorong sekelompok intelektual yang dikomandoi Arif Budiman untuk menentang ketidak adilan struktural lewat gerakan moral. Gerakan moral ini kemudian dikenal dengan golongan putih (golput) yang dicetuskan pada 3 Juni 1971, sebulan menjelang pemilu. 

BACA JUGA:Ingat! Besok Tugu Keris Ditutup untuk Pengendara, Bakal Ada Penampilan Band Tipe-X dan Eks Vokalis Jamrud

BACA JUGA:Hadir Perdana, PLN Muara Bungo Lakukan Penyalaan Baterai Swab Station Motor Listrik di 3 Lokasi

Pada awalnya golput merupakan gerakan untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun. Gerakan itu lahir didorong oleh kenyataan bahwa dengan atau tanpa pemilu, sistem politik waktu itu tetaplah bertopang kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Lebih-lebih dengan berbagai cara, penguasa melindungi dan mendorong kemenangan Golongan Karya (Golkar), sehingga meminggirkan partai politik lain yang berjumlah 10 kontestan untuk dapat bertanding merebut suara secara fair. Jadi, dalam konteks ini, cikal bakal golput merupakan gerakan moral yang ditujukan sebagai “mosi tidak percaya” kepada struktur politik yang coba dibangun oleh penguasa waktu itu. Gerakan moral ini memberikan kesan pada publik bahwa putih disebandingkan dengan lawannya, yakni hitam, kotor.

Pada perkembanganya, pengamat politik, Eep Saefulloh Fatah mengklasifikasikan golput terdiri atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).

Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pemilukada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya, entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.

BACA JUGA:Pemkab Kerinci Audiensi dengan Perangkat Desa Soal Gaji Terlalu Kecil, Ini Hasilnya

BACA JUGA:16 WNI Kelahiran Jambi Ditahan di Malaysia, Ditreskrimsus Polda Jambi Duga Jadi Korban Perdagangan Orang

Ada  31 negara di dunia yang mewajibkan warga negaranya untuk memberikan suara pada saat pemilu. Belgia adalah salah satu negara yang telah lama menerapkan kebijakan ini sejak tahun 1892 untuk laki-laki, dan 1949 untuk perempuan. Ada denda ringan, tetapi bila sudah setidaknya 4 kali tidak ikut pemilu ia akan kehilangan hak suara selama 10 tahun kemudian dan dipersulit dalam mendapatkan pekerjaan di sektor publik. 

Beberapa negara bahkan memberikan sanksi tegas bila warga negaranya tidak dapat membuktikan telah berpartisipasi dalam pemilu. Misalnya sanksi denda dan penjara di Australia, sulit membuat paspor dan surat izin mengemudi di Yunani, dan dilarang mengambil gaji dari Bank di Bolivia, atau bagi si miskin di Peru akan kesulitan mendapat bantuan sosial.

Kategori :