Satu Bumi untuk Masa Depan: Perubahan Iklim dan Bencana Hidrologi Ancam Lingkungan Hidup

Satu Bumi untuk Masa Depan: Perubahan Iklim dan Bencana Hidrologi Ancam Lingkungan Hidup

Ilustrasi -Pixabay -Pixabay.com

JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Satu Bumi untuk Masa Depan menjadi tema sekaligus sebagai refleksi masyarakat Internasional dalam memperingati hari lingkungan yang jatuh pada tanggal 5 Juni. Menilik sejarahnya, Hari Lingkungan Hidup ditetapkan saat Konferensi Stockholm pada tahun 1972 silam. Penetapan hari Lingkungan Hidup bertujuan menegaskan kembali kepedulian terhadap pelestarian dan peningkatan lingkungan, dengan maksud untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Memaknai satu bumi untuk masa depan, merawat bumi yang satu-satunya sebagai ruang hidup untuk kehidupan masa depan. Membicarakan Lingkungan Hidup, saat ini bumi dan Lingkungan Hidup kita mengalami 3 krisis, diantaranya perubahan iklim, kerusakan alam selaras dengan berkurangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. 

Perubahan iklim yang merupakan buntut dari pemanasan global, mengakibatkan peningkatan suhu di seluruh dunia, perubahan cuaca, meningkatnya suhu air laut hingga mencairnya es yang ada di kutub sana. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan Indonesia mengalami tren kenaikan suhu di wilayah Indonesia barat dan tengah, tertinggi kenaikan suhu 0,95 derajat celcius per dekade. Kondisi ini sejalan dengan banyaknya pertanyaan sejumlah masyarakat, yang merasakan suhu panas di sejumlah wilayah sejak awal Mei 2022.  

“Ancaman perubahan iklim nyata, yang memicu bencana ekologi dan hidrologi dengan beragam turunannya, penyakit kekurangan pangan dan lainnya,” kata Rudi Syaf Direktur KKI Warsi

Ancaman ini kata Rudi juga sudah dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa  98% bencana alam di Indonesia dalam satu dekade terakhir terkait dengan aspek meteorologi seperti curah hujan, kelembaban udara, temperatur, dan angin yang disertai kilat dan petir. Menengok akhir tahun lalu, Indonesia dihadapkan dengan cuaca hujan yang ekstrim dan peningkatan intensitas hujan. Peningkatan curah hujan hingga mencapai 20-70% mengakibatkan banjir bandang di beberapa wilayah Indonesia diantaranya, Sumatra bagian selatan, Jawa, Bali, NTT, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan. 

 BACA JUGA:Kisah Cinta Zodiak Kamu Hari Minggu 5 Juni 2022, Capricorn, Anda Mungkin Memiliki Pengalaman Cinta Yang Unik 

BACA JUGA:Zodiak Kamu Hari Minggu 05 Juni 2022, Kesempatan Untuk Melakukan Beberapa Pekerjaan Mungkin Datang Hari Ini

Tahun 2021 total bencana di Indonesia ada 5.402 kejadian, dan di dominasi banjir dan cuaca ekstrem. Menyusul tahun 2020 tercatat 4.650 bencana didominasi banjir 1.518 kejadian dan puting beliung 1.386 kejadian. Sementara itu, menurut Catatan Akhir Tahun Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi 2021, bencana ekologis beberapa kali terjadi di Jambi dan Sumatera Barat. Tercatat 20 kali terjadi banjir di beberapa Kota Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Kerinci. Sedangkan di Sumbar, tercatat Terjadi bencana 11 kali banjir di Solok Selatan, Kota Solok, Padang Panjang, Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Sijunjung, Kota Padang, dan Siberut. Bencana longsor terjadi 8 kali sepanjang 2021, di antara Padang Pariaman, Dharmasraya, Bukittinggi, Agam, Payakumbuh, dan Solok. 

Bencana hidrologi yang terjadi di Provinsi Jambi mengakibatkan 2 orang meninggal dunia, 6.265 rumah terendam, 635 hektar lahan terendam. Sementara di Sumbar, dampak dari bencana yang ditumbulkan menyebabkan 9 orang meninggal dunia dan 3181 rumah terendam banjir. 

“Kerentanan bencana ekologi berbarengan dengan perubahan tutupan hutan akibat aktivitas manusia. Perambahan hutan, penambangan illegal dalam hutan, dan pencurian kayu turut menjadi penyebab dan pengundang bencana ekologi,” kata Rudi.  

Kawasan hutan yang seharusnya dapat meminimalisir efek dari gas rumah kaca seperti tak berdaya untuk dapat mengurangi dampak yang terjadi, akibat kerusakannya yang belum terkendali. Sejatinya keberadaan pohon yang ada di kawasan hutan sebenarnya diharapkan dapat mengikat karbon dioksida pembentuk  gas rumah kaca yang ada di udara, sehingga tidak lepas ke atmosfer yang akan membuat lapisan ozon menipis dan mengakibatkan pemanasan global dan berujung pada perubahan iklim. 

 BACA JUGA:Daihatsu New Sirion 2022 Hadir Dengan Tiga Perubahan Utama 

BACA JUGA:Hanya Ada 1.000 Unit, Ini Cara Mendapatkan Mobil Listrik Murah Rp 17,5 Juta

Hutan yang menjadi tumpuan penjaga iklim, namun mengalami degradasi dan deforestasi dari tahun ke tahun karena kebakaran hutan dan pembukaan lahan baik secara legal maupun ilegal. Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), Indonesia memiliki lahan hutan primer seluas 93,8 juta ha pada 2001. Jumlah tersebut lebih dari separuh luas daratan. Namun, sepanjang periode 2002-2020, Indonesia telah kehilangan sekitar 9,75 juta ha lahan hutan primer. Kondisi tersebut  membuat Indonesia kehilangan 36% lahan tutupan pohon pada periode yang sama. Kondisi ini bila dibiarkan berlarut akan mengancam keberlangsungan kehidupan di bumi. 

Mengingat hutan yang memiliki peran kunci untuk meminimalisir terjadinya pemanasan global, maka seharusnya keberadaan hutan harus menjadi perhatian utama bagi negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan yang luas, seperti Indonesia. “Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk berperan dalam menjaga bumi kita. Penguatan fungsi hutan dengan melakukan pemulihan di kawasan hutan yang tersisa. Selain itu, penguatan fungsi ekologi hutan salah satunya dengan skema perhutanan sosial,” kata Rudi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: