JAMBI - INDEPENDENT.CO.ID - Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), menyoroti maraknya praktik mafia tanah yang disebutnya tidak hanya terjadi di Makassar, tetapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia.
Ia menilai tindakan tersebut merupakan bentuk kejahatan serius karena dilakukan melalui cara-cara ilegal, seperti rekayasa hukum dan pemalsuan dokumen.
"Oh, bukan hanya di Makassar, banyak terjadi di tempat lain. Itu semua kriminal, dilakukan dengan rekayasa hukum dan pemalsuan dokumen," ujar JK, Jakarta, Senin, 10 November 2025.
BACA JUGA:Pelaku Kasus Ledakan SMAN 72 Jakarta Diduga Gunakan Dark Web
JK menegaskan bahwa praktik mafia tanah dapat menimpa siapa pun tanpa pandang bulu. Oleh sebab itu, ia mengajak seluruh masyarakat untuk bersatu melawan jaringan mafia tanah agar tidak semakin merugikan warga.
"Kita harus lawan bersama-sama. Kalau tidak, semua bisa jadi korban. Termasuk saya sendiri, pernah hampir dikorbankan, tapi kami punya bukti formal yang kuat," tegasnya.
Terkait sengketa lahan miliknya di kawasan Tanjung Bunga, Makassar, JK menyebut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid telah memastikan bahwa tanah tersebut merupakan milik sah dirinya.
"Menteri Nusron sudah menegaskan bahwa lahan itu sah milik saya. Mafia tanah seperti ini harus diberantas, jangan dibiarkan," ujar JK.
Kasus sengketa tanah tersebut melibatkan beberapa pihak, di antaranya PT Hadji Kalla, PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), serta individu bernama Mulyono dan Manyombalang Dg. Solong.
Menanggapi hal itu, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menjelaskan bahwa kasus lahan seluas 16,4 hektare di kawasan Tanjung Bunga merupakan sengketa lama yang sudah berlangsung sejak tahun 1990-an.
BACA JUGA:VW ID. UNYX 08 Klaim Jangkauan 700 Km, Hadir dalam Varian Motor Tunggal dan Ganda
Berdasarkan penelusuran kementeriannya, tanah tersebut memiliki dua dasar hak yang berbeda: Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla dan Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT GMTD.
Nusron menegaskan, penyelesaian kasus ini harus dilakukan dengan hati-hati berdasarkan data administrasi pertanahan yang sah, bukan hanya mengacu pada satu putusan pengadilan.
Ia juga menekankan pentingnya digitalisasi dan sinkronisasi data tanah untuk mencegah tumpang tindih sertifikat di masa depan.